
Tanggal 22 Desember 2020 diperingati sebagai Hari Ibu. Gagasan peringatan Hari Ibu muncul pada waktu Kongres Perempuan III tahun 1938. Tujuan peringatan Hari Ibu adalah memperjuangkan kemerdekaan dan memperbaiki keadaan perempuan.
Ketika itu sistem sosial masyarakat Jawa menempatkan kedudukan seorang berada di bawah laki-laki. Eksistensi perempuan tidak lebih dari sekedar kanca wingking, swarga nunut neraka katut, perempuan identik dengan dapur (memasak), kasur (menemani tidur) dan sumur (mencuci).
Perlakuan yang tak setara itu menjadi keprihatinan dan pemikiran KGPAA Mangkunegara I (1757-1795). Berbagai perlakuan yang timpang terhadap perempuan itu menjadi penyebab beliau melakukan perubahan pandangan dan sikap masyarakat terhadap kaum perempuan. Meski saat itu belum dikenal konsep emansipasi, Mangkunegara I sudah melihat terjadinya ketimpangan atas perempuan sehingga beliau mencoba menciptakan suatu tatanan sosial yang menempatkan perempuan setara dengan laki-laki.
Mangkunegara I tidak bicara konsep tentang kesetaran antara perempuan dengan laki-laki, namun aktivitas dan keputusan yang diambilnya mencerminkan kesetaraan gender. Perlakuan kesetaraan dalam pengertian tanggung jawab dilaksanakan di lingkungan terbatas Puro Mangkunegaran. Kesetaraan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa mengubah tata nilai yang lebih luas dapat menimbulkan gejolak sosial. Mangkunegara I mempertentangkan tata nilai yang berlaku dengan sesuatu yang baru pada zamannya dengan melakukan perombakan posisi perempuan.
Kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki yang dilakukan Mangkunegara I dengan cara memajukan kaum perempuan di bidang kemiliteran, pendidikan dan kesenian. Mangkunegara I tidak mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi perempuan, namun memberikan ketrampilan kemiliteran, baca- tulis, menabuh gamelan, mendalang, dan sinden.
Dibidang kemiliteran dan kesenian Mangkunegara I mengajar sendiri para siswa perempuan di lingkungan Mangkunegaran. Tak hanya itu beliau juga membentuk pasukan khusus prajurit estri yang dikenal dengan Pasukan Ladrang Mangkunegaran.
Prajurit estri yang dibentuk Mangkunegara I memiliki kualitas yang dapat dibanggakan tidak kalah dengan prajurit laki-laki. Bila sedang memainkan senjatanya menggunakan pakaian dinas, penampilan dan ketrampilan prajurit estri tak ubahnya seperti prajurit laki-laki yaitu gesit, lincah dan terampil sehingga menimbulkan decak kagum pada siapa saja yang menyaksikannya. Menarik pula bahwa prajurit estri bukan sekedar prajurit pengawal kerajaan, akan tetapi suatu pasukan tempur.
Di samping kecakapan militer, pendidikan yang diberikan kepada kaum perempuan di lingkungan Mangkunegaran adalah pendidikan membaca dan menulis. Hal ini tampak pada ditunjuknya prajurit estri menjadi carik estri. Keberadaan carik estri menjelaskan bahwa perempuan cakap, trampil dan tertib administrasi. Penempatan perempuan sebagai carik estri, dapat dilihat sebagai upaya mengangkat derajat kaum perempuan, juga menyiratkan kejelian dalam memaksimalkan potensi perempuan.
Selain itu, Mangkunegara I membuka kesempatan seluas-luasnya perempuan berkiprah bidang kesenian. Bagi beliau, menari bukan dominasi perempuan, menabuh gamelan bukan dominasi pria. Sinden pun bisa dilakukan bersama baik peremuan dan pria. Pada masa Mangkunegara I mempunyai niyaga laki-laki dan perempuan, penari bedhaya perempuan dan laki-laki, dalang perempuan dan laki-laki. Pemegang tambur, peniup seruling dan pembawa meriam pun ada yang perempuan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa kesetaraan perempuan dan laki-laki telah dipraktekan oleh Mangkunegara I.
Kesetaraan antara perempuan dengan laki-laki telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan Mangkunegaran. Tentu hal ini terkait dengan visi dan sikap Mangkunegara I sendiri yang memandang perempuan dapat berperan lebih dalam bidang bidang kemiliteran dan kesenian.
Leave a Reply