
Belum lama ini pemberitaan media massa dan media sosial diramaikan oleh penampakan wajah baru Pabrik Gula Colomadu yang tengah direvitalisasi. Di dalamnya terdapat convention hall, heritage gallery, souvenir center, outdoor sitting area, restaurant, shopping arcade, dan lainnya. Namanyapun diganti, De Tjolomadoe
Di tengah kemewahan dan kemegahan De Tjolomadoe pernahkah terpikir oleh pemerintah (baca: penguasa) perasaan pemilik Pabrik Gula Colomadu dalam hal ini KGPAA Mangkunagoro IX selaku Pengageng Puro Mangkunegaran sekaligus pewaris sah seluruh aset-aset milik Mangkunegaran termasuk di dalamnya Pabrik Gula Colomadu. Pantaslah jika beliau begitu kecewa dan marah melihat warisan leluhurnya diambil alih paksa kemudian “diacak-acak” tanpa diajak berembug dan bermusyawarah.
Perlu diketahui, Pabrik Gula Colomadu dibangun oleh KGPAA Mangkunagoro IV (1853-1881) pada hari Minggu tanggal 8 Desember 1861 di Desa Malangjiwan. Tekad beliau membangun industri perkebunan tebu antara lain gula merupakan ekspor yang waktu itu sedang naik daun di pasaran internasional dan tebu juga terbiasa ditanam di tanah-tanah Mangkunegaran. Ketika itu biaya pembangunan Colomadu mencapai f400.000 yang salah satu sumber modalnya berasal dari keuntungan perkebunan kopi milik Praja Mangkunegaran. Peralatan produksi gula didatangkan langsung dari Eropa. Mangkunagoro IV memberi nama Pabrik Gula Colomadu yang artinya gunung madu. Nama itu mengandung makna harapan agar kehadiran pabrik gula menjadi simpanan kekayaan dalam bentuk gula pasir yang menyerupai gunung.
Hasil panen perdana tahun 1863 dari 135 bahu sawah yang ditanami tebu menghasilkan 6.000 pikul gula. Sebuah angka produksi yang terbilang fantastis untuk ukuran saat itu karena mampu menyamai rata-rata produksi gula per pikul di Jawa. Gula selain dikonsumsi sendiri dijual ke Belanda, Singapura dan Bandaneira. Hasil keuntungan penjualan Pabrik Gula Colomadu digunakan Mangkunagoro IV untuk menggaji pegawai, merenovasi Puro Mangkunegaran, mendirikan sekolah rakyat, membangun sarana irigasi, dan jalan.
Pabrik Gula Colomadu yang semula mengalami kejayaan dikelola oleh Mangkunegaran untuk kepentingan keluarga dan rakyat Mangkunegaran harus dinasionalisasi ke tangan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1946. Penggunaan kata nasionalisasi atas aset Mangkunegaran tidaklah tepat karena makna nasionalisasi adalah menjadikan milik asing menjadi milik negara. Padahal Mangkunegaran bukanlah bangsa asing melainkan salah satu kerajaan yang turut menyokong berdirinya negara Republik Indonesia.
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 16 Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 merupakan pembekuan terhadap Pemerintahan Swapraja. Adapun harta kekayaan yang berupa hak-hak atas tanah berikut bangunannya masih menjadi milik sah Mangkunegaran atau ahli warisnya.

Dengan dalih nasionalisasi maka Pabrik Gula Colomadu Mangkunegaran yang didirikan dan dibangun Mangkunagoro IV dikuasai dan menjadi milik Pemerintah Repubik Indonesia dan diserahkan pengelolaannya kepada Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Pada tahun 1981 Pabrik Gula Colomadu dikelola oleh Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP). Mulai tahun 1996 Pabrik Gula Colomadu masuk ke dalam wilayah pengelolaan PTPN IX. Sampai akhirnya Pabrik Gula Colomadu ditutup oleh PTPN IX pada tangal 1 Mei 1998 karena kesulitan bahan baku.
Sekian lama mangkrak, secara mengejutkan pada tanggal 4 April 2017, pemerintah melalui Menteri BUMN Rini Soemarno melakukan peletakan batu pertama atas revitalisasi Pabrik Gula Colomadu. Rencananya, bangunan bekas pabrik gula tersebut akan dijadikan pusat kebudayaan di Jawa Tengah. Tanpa kulanuwun sebagai bentuk etika penghormatan orang Jawa kepada pemilik rumah (baca: Mangkunegaran), sontak pembangunan sepihak itu membuat KGPAA Mangkunagoro IX habis kesabaran. Melalui Tim Pengembalian Aset Mangkunegaran (TIM PAM) meminta revitalisasi Pabrik Gula Colomadu dihentikan. Pihak Mangkunegaran menyatakan bahwa Pabrik Gula Colomadu adalah milik Mangkunegaran dengan bukti- bukti kepemilikan antara lain: dokumen sejarah kepemilikan, catatan administrasi pengelolaan, dan peta Domain Mangkunegaran (DMN). Ditambah lagi pihak Mangkunegaran baik KGPAA Mangkunagoro VIII maupun KGPAA Mangkunagoro IX tidak pernah mengeluarkan palilah (izin) untuk melepas Pabrik Gula Colomadu. Karena palilah merupakan dasar bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengeluarkan sertifikat.
Dari awal pembangunan hingga Colomadu direvitalisasi, telah terjadi kesalahan. Puro Mangkunegaran selaku pemilik Pabrik Gula Colomadu tidak pernah mengeluarkan palilah (izin) untuk melepas Pabrik Gula Colomadu kepada pihak manapun. Selaku pemilik Pabrik Gula Colomadu, Puro Mangkunegaran juga tidak memberikan izin kepada pihak manapun untuk melakukan revitalisasi. Seharusnya sebagai pemilik, pihak Puro Mangkunegaran dilibatkan aktif untuk bermusyawarah mengenai rencana induk (masterplan), pengelolaan dan pemanfaatan Pabrik Gula Colomadu.
Leave a Reply