Puro Mangkunagaran, atau Istana Mangkunegaran adalah istana resmi Kadipaten Praja Mangkunegaran dan tempat kediaman para penguasanya>

Quo Vadis Sekolah Menengah Putri Mangkunegaran?

SMPN 5 Solo atau dikenal SMP Buto pada masa Mangkunegara VII digunakan sebagai Sekolah Menengah Putri Mangkunegaran

Kemunculan pendidikan di Mangkunegaran tidak dapat dilepaskan dari Politik Etis. Kebijakan ini dikeluarkan Pemerintah Belanda sebagai bentuk balas budi kepada rakyat Indonesia. Politik Etis memiliki tiga program utama yaitu edukasi (pendidikan), emigrasi (perpindahan penduduk) dan irigasi (pengairan). Dengan dimasukkannya pendidikan dalam progam Politik Etis membuat dunia pendidikan modern mulai terbuka bagi rakyat Indonesia.

Dengan adanya Politik Etis, Mangkunegaran lebih fokus pada pengembangan pendidikan bagi rakyatnya. Pada awal abad XX mulai didirikan sekolah-sekolah rakyat. Dalam pendiriannya, sekolah-sekolah di wilayah Mangkunegaran diusahakan oleh pihak istana, hal ini karena Mangkunegaran memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri.

Pendirian sekolah-sekolah rakyat telah dimulai pada masa pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916). Beliau mendirikan dua sekolah di lingkungan Mangkunegaran yakni Sekolah Siswo (sekolah bagi laki-laki) dan Siswo Rini (sekolah bagi para gadis). Pada tahun 1912 Sekolah Siswo berganti nama menjadi Sekolah Ongko Siji (Angka I), menyusul tahun 1914 berganti nama menjadi HIS Siswo atau Mangkunegaranse School atau dikenal dengan HIS no.4 dengan pengantar Bahasa Belanda.

Pendidikan di Mangkunegaran semakin berkembang pesat pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944). Pada tahun 1918 Mangkunegara VII mendirikan 18 sekolah desa. Semua biaya pendirian dan operasional sekolah ditanggung oleh Mangkunegaran dan desa menyediakan tempat atau tanah untuk mendirikan sekolah.

Selain mendirikan sekolah-sekolah desa, Mangkunegara VII juga mendirikan sekolah perempuan yang diberi nama Sekolah Menengah Putri. Sekolah ini merupakan bentuk kerjasama Mangkunegaran dengan Yayasan Van Deventer yang berpusat di Belanda. Sekolah Menengah

Gagasan awal pendirian Sekolah Menengah Putri dicetuskan oleh Mangkunegara VII. Guna merealisasikan gagasan tersebut dicarilah sebidang tanah atau bangunan yang sesuai untuk lokasi sekolah dan asrama. Dipilihlah ndalem (rumah) Pangeran Natadiningrat yang memiliki luas tanah ±7500m². Waktu itu dibeli dengan harga 20.000 Gulden. Setelah disetujui Mangkunegara VII, pada tahun 1917 dimulailah pembangunan. Sekolah Menengah Putri diresmikan pada tanggal 1 Juli 1927 oleh Gusti Kanjeng Ratu Timur (permaisuri Mangkunegara VII) bersama Mangkunegara VII.

Sekolah Menengah Putri merupakan sekolah menegah untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan tanggung jawab pada perempuan sebelum memasuki jenjang pernikahan dan kehidupan berumah tangga. Sekolah Menengah Putri berdiri atas dukungan keuangan Mangkunegaran. Dalam penyelengaraan pendidikannya, sekolah ini setiap tahun juga mendapatkan bantuan keuangan dari Mangkunegaran sebesar f 300 hingga f 384 per bulan.

Pada tahun 1927 jumlah murid yang masuk sekolah menengah putri berjumlah 24 siswi, tahun 1936 menjadi 79 siswi dan tahun 1938 meningkat 100 siswi. Kurikulum di sekolah menengah putri dapat dikatakan lengkap dan modern yakni ketrampilan rumah tangga meliputi memasak, keuangan rumah tangga, kesehatan, menjahit. Adapula materi pelajaran umum seperti berhitung, membaca dan memulis serta mata pelajaran menyanyi, menari dan karawitan. Sekolah ini juga mendapat perhatian khusus dari Mangkunegara VII dan Gusti Kanjeng Ratu Rimur. Fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada siswi-siswi Sekolah Menengah Putri antara lain diperkenankan menggunakan Pendopo Agung Mangkunegaran dengan gamelannya untuk pelajaran karawitan seminggu sekali. Seringkali Gusti Kanjeng Ratu Timur secara langsung memberikan materi pelajaran menari kepada para siswi. Empat kali seminggu, para siswi juga diperkenankan menggunakan kolam renang, lapangan tenis dan lapangan olah raga lainnya di lingkungan Puro Mangkunegaran. Untuk membentuk watak ketimuran diberikan pelajaran mengenai etika dan adat-istiadat Jawa agar mereka tidak terasing dari kebudayaan Jawa.

Setelah diresmikan pada 1 Juli 1927, Sekolah Menengah Putri digunakan hingga tahun 1942. Ketika Jepang menduduki Indonesia, aktivitas Sekolah Menengah Putri dihentikan dan gedung sekolah digunakan untuk kegiatan tentara Jepang. Pada perkembangannya gedung tersebut juga sempat dijadikan asrama tentara Belanda. Hingga pada akhirnya diambil alih oleh Tentara Pelajar, dan digunakan sebagai pusat pendidikan. Jika merunut bukti-bukti sejarah dan kondisi saat ini, maka kawasan SeKolah Menengah Putri meliputi lokasi SMPN 3 Surakarta, SMPN 10 Surakarta, dan SMPN 5 Surakarta.

Pada tanggal 17 Februari 1950 keluar surat keputusan oleh pemerintah pusat nomor 1254/B/50 tentang penetapan SMPN 3 dan SMPN 5. Gedung yang dahulu digunakan sebagai Sekolah Menengah Putri digunakan oleh SMPN 3 dan SMPN 5. Sedangkan SMPN 10 merupakan pengembangan dari SMPN 3.

Sekian lama menempati kawasan Sekolah Menengah Putri di Jalan Diponegoro-Ngarsopuro Kelurahan Timuran, oleh Pemerintah Kota Surakarta kegiatan belajar-mengajar SMPN 5 Surakarta akan dipindahkan ke Mojosongo dengan alasan pemerataan pendidikan. Menyusul berikutnya SMPN 3 juga akan dipindahkan. Hanya SMPN 10 yang tetap dipertahankan.

Pemindahan SMPN 5 mendapat penolakaan dari Paguyuban Orang Tua Siswa kelas VII SMPN 5 Surakarta yang berjumlah ±250 orang. Mereka menolak karena tidak pernah memperoleh sosialisasi dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Surakarta. Para orang tua tidak pernah memperoleh informasi ketika mendaftarkan anak mereka bahwa SMPN 5 akan dipindah. Mereka memilih mendaftarkan anaknya ke SMPN 5 karena merupakan sekolah favorit dan terletak tidak jauh dari rumah. Jika SMPN 5 dipindahkan ke Mojosongo jaraknya menjadi jauh dari rumah sehingga harus mengeluarkan biaya tambahan.

SMPN 5 Surakarta menempati bangunan Sekolah Menengah Putri yang dibangun masa pemerintahan Mangkunegara VII

Selain dari paguyuban orang tua, penolakan juga datang dari Ikatan Alumni (IKA) SMPN 5 Solo. Mereka menggelar aksi keprihatinan dengan memasang berbagai karangan bunga bernada penolakan pemindahan. Belasan karangan bunga berjajar di depan gedung SMPN 5. Para alumni menyatakan sikap bahwa rencana pemindahan SMPN 5 Solo dari Jl. Diponegoro-Ngarsopuro ke Mojosongo adalah tidak tepat. Rencana pemindahan tanpa melalui sosialisasi telah menimbulkan banyak pertanyaan. Semestinya siswa, guru, orang tua dan alumni diajak berdialog sebelum rencana pemindahan. SMPN 5 memiliki akar sejarah panjang dan melahirkan banyak alumni. Sejak tahun 2014, bangunan SMPN 5 Solo telah ditetapkan Pemerintah Kota Surakarta sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) yang harus dilestarikan. Apalagi tidak ada penjelasan mengenai pemanfaatan bangunan setelah SMPN 5 dipindahkan ke Mojosongo. Jika dasar pemindahan karena alasan zonasi agar terjadi pemerataan pendidikan, mengapa tidak ditambah sekolah baru di wilayah Solo Utara. Menyikapi berbagai penolakan tersebut, pemerintah Kota Surakarta tetap bergeming dan tidak mengindahkan aspirasi dari orang tua siswa dan alumni.

Berpijak pada fakta sejarah yang ada bahwa komplek SMPN 3 Surakarta, SMPN 5 Surakarta, dan SMPN 10 Surakarta adalah milik Mangkunegaran. Di kawasan ini pada tanggal 1 Juli 1927 diresmikan Sekolah Menengah Putri oleh Gusti Kanjeng Ratu Timur bersama Mangkunegara VII. Melalui Surat Keputusan dari pemerintah pusat nomor 1254/B/50 tahun 1950 bekas Sekolah Menengah Putri tersebut ditetapkan untuk kegiatan belajar-mengajar SMPN 3 dan SMPN 5 Surakarta. Hal itu diperkuat lagi oleh Pemerintah Kota Surakarta bahwa bangunan SMPN 5 Surakarta ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB). Sebagai pemilik komplek SMPN 3, SMPN 5 dan SMPN 10, Mangkunegaran mendukung komplek tersebut tetap sebagai lokasi pendidikan seperti kebijakan Mangkunegara VII.

 

 

 

1 Comment on Quo Vadis Sekolah Menengah Putri Mangkunegaran?

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*