
KGPAA Mangkunegara VII (1916-1944) dikenal sebagai pribadi yang cakap dalam berbagai hal. Dalam bidang seni beliau dikenal sebagai seniman kreatif, penyokong utama dalam bidang drama dan tari. Mangkunegara VII menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk kemajuan Mangkunegaran dengan cara meningkatkan pendidikan, tak ketinggalan pendidikan di bidang kesenian.
Di lingkungan istana, Mangkunegara VII mewajibkan para putera-puteri belajar menari dan karawitan. Telah disusun pedoman joged (tari) gaya Mangkunegaran. Tiap-tiap kelompok di wilayah kawedanan Praja Mangkunegaran diberi seperangkat gamelan, dengan tujuan menyebarluaskan tari dan karawitan kepada seluruh rakyat Mangkunegaran. Sebagian besar sekolah dan organisasi mendapat seperangkat gamelan dan diberikan pelajaran tentang tata cara nembang (menyanyi) yang efektif.
Mangkunegara VII juga mengembangkan langendriyan dengan menampilkan 7 pemain. Selain jumlah pemain yang bertambah, beliau juga menyempurnakan tarian dan kostumnya, baik kombinasi warna maupun model.
Pengembangan langendriyan masih berlanjut dengan mementaskan semua cerita (lakon) dari seri Darmawulan Ngarit sampai pernikahan Ratu Ayu Majapahit dengan Darmawulan. Biasanya dilaksanakan dari cerita demi cerita dan tarian Menakjingga dipentaskan sebagai petilan (cuplikan).
Di bidang pendidikan kesenian, telah disusun pedoman tari dan karawitan gaya Mangkunegaran, dan dibuka sekolah pedalangan gaya Mangkunegaran. Selain itu diadakan pula Culturele Studiekring dan Javaansche Kunstkring Mardi Raras. Pada tahun 1933 Javaansche Kunstkring Mardi Raras menjadi siaran radio ke-Timuran yang berfungsi menyebarluaskan kesenian Jawa, terutama karawitan dan wayang orang.
Didukung oleh ide-ide baru, pengalaman dan kemampuan serta wawasan di bidang kebudayaan, Mangkunegara VII banyak mengambil peran dalam menyongsong mengalirnya seni budaya dari dan ke berbagai lingkungan.
Pada waktu perkawinan agung antara KGPAA Mangkunegara VII dengan Gusti Kanjeng Ratu Timur, diikutkan rombongan seniman dari Mangkunegaran ke Yogyakarta untuk bertukar pengalaman dalam bidang seni dan pentas seni. Sebutlah, Jaikem si penari cilik Mangkunegaran yang berumur 9 tahun ditugaskan mempelajari tari selama 3 hari di Yogyakarta. Sepulangnya dari Yogyakarta, Jaikem menjadi seniwati yang dikenal dengan nama Mardusari.
Pada 6 September 1924, wayang orang Yogyakarta dipentaskan di Mangkunegaran. Hal ini merupakan hasil kerjasama antara Krido Bekso Wiromo dengan Jong Java atas arahan Mangkunegara VII sebagai pelindung Jong Java.
Pada Kongres Java Institut tahun 1924, atas dorongan Mangkunegara VII dipentaskan Bedhaya Harjuna Wiwaha di Pura Pakualaman. Ini pertama kalinya tarian sakral diperkenalkan kepada rakyat.
Dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, maka seni pertunjukan di Mangkunegaran telah mengalami perkembangan ke luar, sehingga seni pertunjukan Mangkunegaran mulai dikenal luas. Mangkunegara VII berhasil mengembangkan kegiatan kesenian untuk dapat dipelajari dan dinikmati masayarakat.
Leave a Reply