

Dalam rangka Hajatan Dalem Tingalan Wiyosan Jumenengan ke-30 Sri Paduka Mangkunagoro IX, Puro Mangkunegaran menyelenggarakan Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Pamedan. Acara dihelat Jumat malam (29/09/2017).
Sri Paduka Mangkunagoro IX berharap “Sinau Bareng bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng malam ini menjadi penyemangat dalam menjaga, merawat warisan para leluhur dan melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari di tengah arus perubahan jaman yang luar biasa cepatnya”.
Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng kali ini lebih terfokus dan lebih mendalam tentang ihwal kondisi yang dihadapi keraton. Selama ini keraton hanya dipandang sebagai peninggalan cagar budaya secara fisik dan bukan nilai atau norma. Dalam konteks yang lebih kompleks, situasi itu menghasilkan problem ketidaktepatan dalam menempatkan keraton dalam garis panjang sejarah Indonesia.
Cak Nun berharap melalui kegiatan Sinau Bareng ini bisa membawa kita kepada keadaan di mana masa depan memiliki patrap sejarah. Khasanah ilmu hidup dari keraton banyak yang perlu dipahami kembali.
“Kalau keraton dihilangkan, kita kehilangan detail bangsa ini. Salah satunya detail bahasa. Bahasa Jawa misalnya,” ujar Cak Nun. Dampaknya, bangsa kita ini sekarang tidak punya kemampuan membaca hati. Hanya kemampuan membaca yang tampak saja. Bukan yang ada di baliknya.

Cak Nun mengajak jamaah belajar kepada rakyat melalui lagu Gundhul Pacul yang dilantunkan oleh Novia Kolopaking dan Kiai Kanjeng. Sebagai pengingat bahwa sebagai pemimpin harus senantiasa nyunggi wakul yang merupakan amanat rakyat. Memiliki falsafah yang adiluhung, yakni menjadi pemimpin agar tidak gembelengan karena letak kesejahteraan rakyat yang dijunjung tinggi. Karena bila tetap gembelengan akhirnya wakul kesejahteraan itu jatuh dan tumpah segane dadi sak latar dan meyebabkan penderitaan rakyat.
“Yang penting dalam setiap belajar pikiran harus selalu merdeka tapi hati juga tetap dijaga kesuciannya.” pesan Cak Nun.
Leave a Reply