
Tradisi sungkeman masih terus dipertahankan masyarakat Jawa khususnya dalam merayakan Hari Raya Idulfitri atau lebaran. Sungkeman berasal dari kata sungkem yang artinya bersimpuh atau duduk jongkok sambil mencium tangan orang yang dituakan. Umumnya, sungkeman dilakukan oleh anak-anak kepada orang tua atau orang muda kepada orang yang lebih tua.
Biasanya, sungkeman dilakukan pada acara-acara penting seperti pernikahan dan lebaran. Sungkeman bertujuan untuk meminta maaf atas kesalahan ucapan atau tindakan yang dilakukan agar dosa dan kesalahan dapat terhapus serta mengharapkan doa kebaikan dari orang yang dituakan.
Momen sungkeman saat lebaran merupakan bagian dari tradisi silaturahmi untuk saling memaafkan. Pada mulanya dikembangkan oleh kraton-kraton di Jawa. Menurut cerita, tradisi sungkeman sewaktu lebaran bermula dari Kasunanan Surakarta dan Puro Mangkunegaran.

Sungkeman dengan melibatkan kerabat, abdi dalem dan rakyat pernah dilakukan pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara I (1757-1795). Setelah Shalat Idulfitri, Mangkunegara I berkumpul dan saling bermaafan. Diawali sungkeman para istri dan putra dalem dilanjutkan para kerabat, punggawa dan rakyat. Tradisi ini menggambarkan kedekatan raja dengan kerabat, punggawa dan rakyat.
Tradisi sungkeman juga dilaksanakan di lingkungan Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Bentuk dan pelaksanaannya sesuai ketentuan adat yang berlaku. Pihak- pihak yang terlibat harus mengenakan pakaian Jawa lengkap. Raja duduk di singgasana dan yang hadir duduk bersila, diawali dengan sembah kemudian sungkem sembari mengucapkan kalimat maaf yang sudah baku.
Leave a Reply